Image Hosting
Image Hosting

MUSI RAWAS- Perambahan Hutan Produksi Tetap (HPT) seluas 200 hektar di Desa Pelawe, Kecamatan BTS Ulu disinyalir melibatkan oknum pemerintahan. Keterlibatan oknum pemerintahan ini diduga dimulai dari penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) oleh Kepala Desa (Kades) berinisial AH seluas kurang lebih 850 Hektar (Ha) pada 2009. Jumlah lahan yang dibuat SKT berpariatif, mulai dari satu hektar hingga ada yang jumlahnya mencapai 60 hektar.

Selanjutnya dikeluarkan SPPH oleh mantan Camat BTS Ulu berinisial Nw atas nama BW salah seorang Kades di Kecamatan Tugumulyo. Padahal legalitas hukum lahan itu saat ini masih status quo sengketa lahan antara masyarakat Desa Plawe dengan PT Musi Hutan Persada (MHP).

“SKT yang diterbitkan oknum Kades AH atas nama seseorang. Namun kami tidak yakin kalau lahan seluas 850 hektar yang dikeluarkan SKTnya itu milik BW. Kami yakin ada para pengusaha dibelakangnya. Kalau dihitung lahan yang telah dirambah ada sekitar 200 hektar, tapi saat ini alat berat yang ada di lokasi sudah ditarik kerluar. Aktivitas yang ada saat ini hanya penanaman,” cerita Nh salah seorang warga Desa Pelawe Kecamatan BTS Ulu kepada wartawan koran ini, Sabtu (31/7).

Penadapat serupa juga dikatakan Al Imron Harun, anggota DPRD Kabupaten Mura. Menurutnya lahan seluas 850 hektar yang masuk dalam Hutan Produksi Tetap (HTP) tersebut tidak mungkin dikuasai oleh satu orang. “Seharusnya yang membeli teliti masalah status lahan, apakah masuk dalam HPT atau tidak. Kalau masyarakat yang menjual tidak tahu menahu, karena mereka sifatnya hanya menjual. Sungguh naïf orang investasi miliaran rupiah tidak tahu status lahan. Mereka seharusnya bertanya kepada camat yang memiliki wilayah,”jelas Imron.

Ditambahkan Imron, untuk kepemilikan lahan perorangan, menurut aturan hanya dibatasi 20-25 per orang. “Kalau lebih dari jumlah ini harus mengunakan perusahan yang memiliki badan hukum agar ada PAD untuk daerah. Kades juga seharusnya hanya boleh menerbitkan SKT luasnya dua hektar. Tapi informasi yang saya dengar ada yang lebih. Kalau masalah surat menurut saya tidak terlalu krusial, bisa diganti. Tapi yang jadi masalah status lahan dan yang membeli, apakah perusahaan atau perorangan,”paparnya.
Camat BTS Ulu Jamil Kamal dihubungi melalui Hpnya mengatakan, saat ini, aktivitas perambahan hutan di Desa Pelawe tersebut saat ini telah dihentikan. “Sekarang tidak ada lagi aktivitas penggusuran lahan. Kemarin tim dari Dinas Kehutanan yang turun ke lapangan langsung menghentikannya,” ucap Jamil seraya menganjurkan untuk menghubungi Dinas Kehutanan.

Sementara terhadap permasalahan ini Plt Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Mura, H Sulaiman Kohar mengaku mengatakan, pihaknya sudah menyurati Camat BTS Ulu untuk menghentikan kegiatan perambahan hutan tersebut. Sedangkan masalah penerbitan SKT, Sulaiman menduga hanya kekeliruan pejabat yang mengeluarkan surat.
“Pemkab sudah memerintahkan kepada camat untuk menelusuri permasalahn ini. Terutama masalah penerbitan Surat Keterangan Tanah (SKT) yang dilakukan oleh pejabat kecamatan terdahulu. Mungkin adanya ketidaktahuan dari oknum tersebut sehingga harus terus dipelajari dan telusuri secara komprehensif. Kemudian masalah perizinan perkebunan,” jelas Sulaiman kepada wartawan koran ini di ruang kerjanya, Sabtu (31/7).

Terpisah, Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) Kabupaten Mura, Agus Setyono menegaskan, hutan yang dirambah oleh investor ‘siluman’ itu merupakan Hutan Produksi Tetap (HPT) yang tidak boleh diperjualbelikan. Termasuk juga tidak ada yang berhak menerbitkan SKT, sesuai dengan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

“Insyaallah, Senin nanti (hari ini, red) kita akan melakukan pertemuan untuk pembahasan lebih lanjut permasalahan tersebut. Dalam pertemuan itu akan dibahas tentang kelanjutan hutan yang dirambah apakah akan dikerjasamakan dengan MHP atau dimasukkan ke kepolisian. Kalau dikerjasamakan dengan MHP bertujuan untuk kesejahteraan rakyat tentunya,” jelas Agus.

Sebelumnya H Nurussulhi, putra Desa Plawe mengatakan, awalnya lahan yang digarap investor “siluman” itu dibeli oknum Kades di Kecamatan Tugumulyo berinisial Bw pada 2009 berjumlah 850 Hektar (Ha). Dalam satu hektarnya dibeli seharga Rp 3,5 juta diluar ongkos kepengurusan surat. Selanjutnya Bw meminta kepada Kades Pelawe berinisial AH untuk menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT) lalu diterbitkan SPPH oleh Camat BTS Ulu berinisial Nw.

Nun menuding, beberapa SK tanah yang dikeluarkan Kades Pelawe banyak diantaranya terindikasi fiktif. Bahkan terdapat beberapa individu yang memiliki lahan luasnya sekitar 60,5 hektar.
“Padahal, dalam pernyataan yang kerapkali diucapkan oleh Bupati Mura, H. Ridwan Mukti memerintahkan kepada semua Kades dalam wilayah kekuasaanya untuk tidak menerbitkan SK tanah atau surat pengakuan hak, setiap orang tidak lebih dari dua hektar kepemilikan lahan. Anehnya lagi, Surat Pernyataan Pengakuan Hak (SPPH) didaftarkan pula di kantor Camat BTS Ulu pada tanggal 05 Desember 2009 dengan No.Reg.590/792/BTS-U/2009. Setelah diterbitkan SKT dan SPPH kepemilikan lahan ini didaftarkan ke seorang notaris yang berkantor di Terminal Pasar Lubuklinggau,” beber Nun lagi. (03/07)

Image and video hosting by TinyPic

    ShoutMix chat widget