Image Hosting
Image Hosting


Pemikiran dr H Mast Idris Usman E, Tentang Urgensi KPAID


Delapan besar calon anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Musi Rawas (Mura), Sabtu (20/3) lalu, sudah ditetapkan Komisi I DPRD Mura dan sedang menanti keputusan bupati. Salah seorang dari delapan figur tersebutlah nama Dr H Mast Idris Usman E. Berikut sikap dan pemikirannya tentang pentingnya KPAID.

Rehanudin Akil, Lubuklinggau
PROSES rekomendasi 14 nama calon KPAID yang diajukan tim seleksi kepada Komisi I DPRD Mura bukanlah hal mudah. Bahkan begitu naik ke meja legislator tahapan menjadi semakin ketat, karena hampir setengah dari jumlah tersebut harus tereliminasi.

Ketatnya proses penyeleksian calon anggota KPAID Mura, disikapi positif oleh Mast Idris. Sebab bicara mengenai persoalan anak sama halnya menata masa depan bangsa dan negara. Anak dalam pandangan mantan Wakil Direktur Rumah Sakit (RS) dr M Yunus Provinsi Bengkulu dan mantan Direktur RS dr Sobirin Mura, bukanlah sekedar sosok lucu dan polos. Sosok yang seringkali dianggap hak mutlak bagi orang tuanya.

“Anak generasi masa depan bangsa. Yakinlah jika gagal mengasuh, mendidik dan melindungi anak, sama halnya telah gagal mempersiapkan masa depan bangsa. Jika sampai terjadi kehilangan generasi (lose generation) muda, maka akan berpotensi meruntuhkan pondasi dan kelanjutan bangsa,” ungkap Mast Idris penuh semangat.

Berawal dari kepedulian serta panggilan jiwanya. Lelaki kelahiran Desa Lubuk Pandan (Mura), 5 September 1950, sejak awal serius dan fokus untuk menjadi motor penggerak KPAID. Melalui lembaga ini, Mast Idris, akan melakukan banyak hal terkait berbagai masalah yang menimpa anak-anak di Bumi Lan Serasan Sekentenan.

Melengkapi kepedulian Mast Idris pada dunia anak-anak tidak saja karena latar belakang pekerjaannya sebagai seorang dokter profesional hampir 30 tahun. Pria pemilik hobi fotografi ini sarat dengan pengalaman hidup. Sebagai putra daerah, Mast Idris sangat mengenal karakter warga Mura termasuk dalam hal mengasuh dan mendidik anak-anak.
“Sekarang dengan era kemajuan berbagai pengembangan teknologi, ditambah dengan propaganda dunia tanpa batas atau biasa disebut globalisasi, permasalahan anak-anak Indonesia Semakin kompleks. Tanpa terkecuali kondisi tersebut juga terjadi di Mura,” tutur Mast Idris.

Masih terkenang dalam benak ayah enam anak ini ketika masa kecilnya. Salah satu ajaran yang melekat dari orang tua, setiap gema adzan Magrib terdengar anak-anak harus berada di rumah. Karena di luar rumah banyak setan atau jenis mahkluk halus bergentayangan. Jika disimpulkan ajaran leluhur tersebut sebuah ajakan bagi anak untuk menunaikan ibadah salat Magrib.

Belakangan ajaran seperti itu perlahan tapi pasti tergerus zaman. Bahkan tidak sedikit ajaran leluhur yang bersumber dari prinsip dan keyakinan agama justru dibilang kuno, kolot, pokoknya tidak penting. “ Dulu kalau ada dua insan muda berlainan jenis (bujang dan gadis), besindo (berbincang dengan pacar) jarak antara keduanya bisa tiga meter. Itu pun dilakukan sangat hati-hati dan mengindahkan norma agama maupun norma adat.
Sekarang metode pacaran ala besindo sudah dianggap kuno. Bujang gadis yang terikat jalinan asmara sudah terbiasa berpelukan diatas kendaraan motor saat melintasi dusun. Dan orang tuanya atau sanak keluarga sudah mahfum dan tidak risih, karena sudah zaman,” urai Mast Idris panjang lebar.

Padahal lanjutnya modern tidak identik dengan pola asuh primitif. Karena tidak ubahnya membiarkan anak lepas kendali. Salah satu bangsa yang tidak diragukan lagi menyandang predikat modern adalah Jepang. Bayangkan hampir 95 persen kendaraan motor, mobil yang lalulalang di Kota Lubuklinggau dan Mura, hasil pengembangan teknologi bangsa Jepang. Bahkan negara modern di kawasan benua Amerika, Eropa pun mengakui kemajuan negeri mata hari terbit itu. Menariknya Jepang sangat menjunjung tinggi adat dan budaya leluhur. “Sehingga tidak benar jika dengan alasan modern harus menggerus budaya bangsa,” imbuhnya.

Prinsip tersebut menurut Mast Idris harus tertanam sejak dini pada anak. Orang tua memegang peran penting melakukannya. Anak-anak bila diibaratkan selembar kertas putih siap ditulis atau dilukis apapun juga. Tergantung orang tua mau memberikan tauladan yang baik atau sebaliknya. Satu contoh ironis, banyak orang tua berbuih mulutnya bahkan tidak sedikit melakukan tindakan kekerasan pada anaknya agar tidak merokok. Tanpa menyadari sedikitpun saat memberikan nasihat mulia itu, di jari tangan sang ayah api rokok tak kunjung padam.

“Sebuah fakta yang jauh dari nilai ketauladanan. Lain yang dinasihati pada anak lain pula yang dilakukan orang tua. Menasihati anak bahwa merokok menimbulkan berbagai efek negatif, baik secara agama, kesehatan, sosial maupun ekonomi tetapi justru orang tua sendiri melakukannya. Melarang anak merokok, sang ayah justru menjadi ahli hisap asap,” sindirnya.

Bagi Mast Idris, KPAID merupakan sarana untuk memfasilitasi penyelesaian berbagai kepentingan dalam rangka memberikan perlindungan kepada anak. Sehingga tidak heran visinya sebagai calon anggota KPAID telah terpatri dalam sanubari. Yaitu terlaksananya perlindungan anak di Mura demi mewujudkan anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
“Untuk mewujudkan visi tersebut tentu saja tidak cukup hanya KPAID. Tetapi membutuhkan semua elemen masyarakat, lembaga pendidikan dan pemerintah,” pungkasnya.(*)

Image and video hosting by TinyPic

    ShoutMix chat widget