Dinilai Cacat Hukum
LUBUKLINGGAU–Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STKIP-PGRI Lubuklinggau, minta Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Musi Rawas (Mura) menghentikan tahapan pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Mura. Sebab, tidak sesuai dengan pasal 27 ayat (1) huruf a poin 2,4 Undang-Undang (UU) No.22 Tahun 2007 tentang Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu), dan UU No.10 Tahun 2008 tentang Tugas Panwaslu.
“Dalam UU No.10 Tahun 2008 menjelaskan tentang tugas Panwaslu, mulai dari tahap verifikasi hingga nantinya penetapan hasil Pemilu dan calon terpilih. Tujuannya supaya tidak ada peserta Pemilu (para calon) dan masyarakat yang dirugikan. Karena itulah, kami menilai bahwa Pilkada Mura cacat hukum dan harus ditunda. Sebab, setiap tahapan yang telah dilakukan KPU tidak diawasi oleh Panwaslu. Apalagi hingga kini Panwaslu belum terbentuk, dan jelas melanggar UU tentang Pelaksanaan Pemilu.
Oleh karena itu, KPU jangan lagi melanjutkan tahapan Pilkada berikutnya dan bila perlu tahapan yang sudah dilakukan diulang kembali sampai anggota Panwaslu Kabupaten Mura dilantik,” kata Iswandi, Ketua BEM STKIP-PGRI Lubuklinggau, kepada Linggau Pos, Sabtu (13/3).
Ditambahkan Iswandi, tugas dari Panwaslu sudah jelas, yakni mengawasi jalannya pelaksanaan Pilkada. Apabila tidak ada lembaga yang mengawasi dikhawatirkan membuat sebagian besar pendukung masing-masing calon akan tidak puas, dan menimbulkan kekacauan di masyarakat. Untuk itu BEM STKIP-PGRI Lubuklinggau mengimbau kepada KPU Kabupaten Mura dan DPRD Kabupaten Mura segera bentuk Panwaslu.
“Ibaratnya, dalam suatu permainan harus ada wasit atau juri supaya jalannya pertandingan atau permainan dapat berjalan tertib, aman, dan lancar serta tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada, kami hanya ingin semua pihak merasa puas, hingga terhindar hal-hal yang tidak diinginkan di kalangan masyarakat,” jelasnya.
Kendati demikian, Iswandi berharap proses pemilihan akan berjalan dengan sukses meskipun ada kekurangan di sana-sini. “Kami berharap proses pemilihan akan berjalan sesuai dengan mekanisme yang ada. Dan kepada seluruh lapisan masyarakat hendaknya dapat menyalurkan aspirasinya sebagai warga negara yang baik,” harap Iswandi.
Divisi Teknis Pengolahan Data KPU Mura, Novriansyah mengatakan, tidak setiap permasalahan harus dilaporkan kepada Panwaslu. Sebab, merujuk kepada UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, seluruh komponen masyarakat berhak mengawasi jalannya Pemilu.
"Kalau ditemukan pelanggaran administrasi dalam pelaksanaan Pemilu, masyarakat bisa melaporkannya langsung ke KPU. Jika pelanggaran tindak pidana maka laporkan saja ke Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Memang sebaiknya, ada lembaga Panwaslu yang bisa melaksanakan fungsi pengawasan," jelas Novriansyah.
Beberapa kalangan masyarakat berpendapat ada upaya pembodohan masyarakat dalam pelaksanaan pesta demokrasi di Kabupaten Mura saat ini. Sebab, pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Mura 2010 terkesan dipaksakan, dan anggota KPU Kabupaten Mura terkesan arogan dan kurang memahami UU Pemilu itu sendiri. Sebab, dengan tidak adanya Panwaslu artinya kelengkapan dari pelaksanaan Pemilu itu sendiri ada yang kurang, kalau ada pelanggaran baik dilakukan peserta Pemilu (calon, timses, dan partai pendukung), pelaksana Pemilu (oknum anggota KPU, PPK, PPS, dan KPPS), termasuk oknum petugas keamanan dan masyarakat, maka pelanggaran Pemilu itu dilaporkan kepada siapa. Sebab, ada mekanisme yang mengatur tentang pelaporan pelanggaran yang diatur oleh UU, walaupun masyarakat punya hak untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tahapan Pemilu.
Memang untuk sementara ini semua peserta Pemilu (calon), timses dan parpol pengusung termasuk para pendukung calon, belum mempersoalkan mengenai keberadaan Panwaslu. Tetapi jika setelah hasil Pemilu nantinya tidak sesuai dengan harapan mereka, tentu akan mempersoalkan tidak adanya Panwaslu. Dan para calon, timses, partai pendukung dan simpatisan calon tidak akan menerima dan mengakui hasil Pemilu yang telah dilaksanakan. Bukankah tidak adanya Panwaslu salah satu penyebab munculnya konflik, akibat ketidakpuasan mengenai pelaksanaan tahapan Pemilu dan hasil Pemilu. Untuk itu KPU Mura semestinya berpatokan kepada UU Pemilu Kepala Daerah. Jangan dengan pemahaman atau kesimpulan dan pendapat anggota KPU yang keliru, dalam menerjemahkan bunyi pasal yang ada di dalam aturan pelaksanaan Pemilu dan penyelenggara Pemilu. Karena UU lebih tinggi dari pada pendapat atau pemahaman, serta kesimpulan yang keliru dari sekelompok orang atau anggota KPU sendiri.
Sebab, muncul suatu masalah atau konflik buntut dari hasil Pemilu sangat merugikan mulai dari waktu, tenaga, dan biaya. Artinya, masyarakat Kabupaten Mura yang dirugikan. Inilah yang perlu menjadi perhatian semua pihak, supaya nantinya hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Mura 2010 legitimate dan diakui seluruh lapisan masyarakat. Dengan pelaksanaan Pemilu ini artinya dapat menyelesaikan suatu masalah bukan membuat persoalan baru.(05)
0 komentar